Awal Revoulsi Audio DigitalRevolusi audio digital dimulai sekitar tahun
1987, ketika Institut Fraunhofer di Jerman mulai mengembangkan suatu
teknologi audio yang pada suatu saat nanti mungkin akan membuat CD Audio
menjadi kuno sama seperti pita 8 track. Teknologi yang masih dalam
pengembangan tersebut diberi nama MPEG Audio Layer 3 alias MP3, yang
mampu mengubah file audio digital menjadi 1/10 ukuran dari ukuran file
digital awalnya. Teknologi yang dikembangkan tersebut merupakan
teknologi kompresi terhadap file audio digital.
Penemu MP3
Bill
Gates menjadi legenda dan makmur karena sistem operasi ciptaannya,
yaitu MS-DOS dan Windows, Linus Torvalds juga menjadi terkenal karena
sistem operasi Linux yang dibuatnya. Namun, dikalangan ahli, ada
seseorang yang merupakan legenda disebabkan oleh penemuan fundamentalnya
dibidang audio digital. Ia adalah Dr. Karlheinz Brandenburg sang penemu
MP3. Karya temuannya dipergunakan oleh hampir semua orang di bumi. Dr.
Karlheinz Brandenburg mengembangkan penemuannya di Institut Fraunhofer
Jerman.
P3 merupakan salah satu format file audio digital yang
awalnya tersedia untuk PC (Personal Computer), namun pada
perkembangannya MP3 mulai memasuki dunia yang lebih luas, tidak terbatas
hanya pada PC tetapi juga perangkat pemutar audio digital layaknya CD
Player sehingga dapat digunakan meskipun tanpa PC.
MP3 adalah
singkatan dari MPEG Audio Layer 3, sebuah teknologi kompresi untuk file
audio digital sehingga diperoleh ukuran file yang lebih kecil
dibandingkan dengan format audio digital sebelumnya.
Awalnya, MP3
adalah track audio (Audio Layer) Video MPEG. MPEG sendiri merupakan
singkatan dari Moving Picture Expert Group.Sebelum munculnya MP3, telah
ada format file audio digital yang menggunakan teknologi kompresi,
antara lain : AAC Dolby, WMA (Windows Media Audio), Real Audio, VQF.
Kompresi
Mp3
Sedikit cerita tentang format file MP3 yang populer itu.
Bicara soal MP3 tidak lepas dari format file MPEG (Motion Pictures
Expert Group). MPEG (biasanya dilafalkan sebagai eM-PEG) kita kenal
sebagai format standar dalam penyimpanan dan pendistribusian data
multimedia terkompresi. Kita tahu, data berupa rekaman audio maupun
video akan berukuran sangat besar, dan dengan demikian akan sangat
menyita spasi di media penyimpanan. Teknik kompresi semacam MPEG dapat
membantu mereduksi ukuran file multimedia tanpa menghilangkan informasi
yang tersimpan didalamnya. Salah satu aplikasi MPEG yang paling populer
adalah format VCD (Video Compact Disc). Sekedar tahu saja, saat kita
menyetel film pada VCD, maka yang dilakukan oleh perangkat player VCD
itu sebenarnya adalah membaca sebuah file yang disimpan dalam format
MPEG di dalam cakram VCD dan menampilkan hasilnya di layar televisi.
Berbeda
dengan format kompresi ZIP yang tetap mempertahankan struktur data
aslinya (non-lossy), teknik kompresi pada MPEG bersifat lossy, yang
artinya bahwa teknik ini menghilangkan sebagian informasi yang dianggap
tidak signifikan. Dengan algoritma tertentu, yang disebut DCT (Discrete
Cosine Transform), maka sebuah rekaman video dapat dikompres dengan
rasio kompresi hingga diatas 10:1, artinya dari 10 MB data, dapat
direduksi menjadi hanya 1 MB dengan kualitas yang hanya sedikit lebih
rendah dari format file asli. Dengan semakin berkembangnya teknologi
mikroprosesor, yang menghasilkan kecepatan pemrosesan data yang semakin
tinggi, maka teknik kompresi MPEG dapat terus disempurnakan hingga
menghasilkan kualitas gambar yang setara dengan aslinya. Format kompresi
yang diterapkan pada DVD (Digital Versatile Disk) maupun siaran
televisi digital contohnya, juga dikompres dengan metode MPEG, namun
dengan algoritma yang lebih maju ketimbang yang diterapkan pada VCD.
Pada
dasarnya, rekaman file multimedia yang tersimpan dalam format MPEG
terdiri dari tiga layer (lapisan). Layer pertama adalah frame (bingkai
gambar), berikutnya adalah motion (gerakan), dan layer ketiga, atau
terakhir adalah sound (suara). Nah, file MP3 sebenarnya adalah file MPEG
yang khusus hanya menangani layer yang ketiga itu saja. Maka itulah ia
disebut demikian, yaitu singkatan dari MPEG Layer 3. Format file MP3
pertama kali dikembangkan oleh Karlheinz Brandenburg dari Universitas
Fraunhofer, Jerman, pada sekitar tahun 1996. Karenanya algoritma MP3
juga sering disebut sebagai algoritma Fraunhofer.
Cara kerja
kompresi MP3 ini adalah dengan menghilangkan suara-suara pada frekuensi
yang tidak dapat didengar oleh telinga manusia. Cara ini memiliki
efektifitas yang cukup signifikan. Apabila sebuah CD Audio (dalam format
CDDA) dengan kapasitas sekitar 640 MB hanya mampu menyimpan rekaman
sepanjang 70 menit, maka format MP3 memungkinkan sebuah file audio
dengan data rate 128 kpbs sepanjang 1 menit hanya menghabiskan spasi
sebesar 1 MB pada media penyimpanan. Hitung sendiri berapa banyak lagu
yang bisa dijejalkan dalam satu keping CD bila rata-rata panjang sebuah
lagu adalah sekitar 4-5 menit.
Karena dikompresi dengan
metode lossy, sebenarnya kualitas suara pada file MP3 tidaklah sebagus
rekaman aslinya dalam format CD -- walaupun masih jauh lebih baik
daripada dengan media kaset. Karena itulah maka format MP3 tidak pernah
diklaim sebagai 'sekualitas CD' (CD quality), melainkan hanya 'mendekati
kualitas CD' (Near CD Quality). Namun demikian, bagi kebanyakan orang,
perbedaan ini hampir-hampir tidak terasa. Mungkin bagi para audiophile
(maniak audio) tetap bisa merasakan adanya perbedaan kualitas suara.
Legalitas
Mp3
Sebenarnya isu yang melingkupi format file MP3 lebih banyak
yang bersifat non-teknis ketimbang teknis. Secara teknis, algoritma MP3
memang masih terus dikembangkan dengan sasaran untuk memperoleh rasio
kompresi yang lebih tinggi dengan kualitas suara yang lebih jernih.
Namun demikian, masih diperlukan waktu yang lumayan lama untuk
menyempurnakan format file MP3 yang kita kenal sekarang. Belum lagi
faktor popularitas format MP3 yang terlanjur familiar bagi para user PC,
sehingga format-format lain yang belakangan dikembangkan, seperti VQF
atau MP4 tidak begitu memperoleh sambutan dari pasar.
Isyu yang
sebenarnya justeru jauh dari persoalan teknis, yaitu berkaitan dengan
hak cipta. Bukan rahasia lagi kalau berkembangnya format ini menyebabkan
para pelaku industeri rekaman mencak-mencak. Hasil karya mereka yang
berupa rekaman lagu dapat dengan mudah dikopi dan disebarluaskan, baik
lewat internet maupun lewat CD bajakan yang di Indonesia sering
dijajakan secara terbuka itu. Akibatnya jelas mereka harus menangguk
kerugian yang tidak sedikit.
Ini diperparah lagi dengan munculnya
layanan sharing file MP3 via jaringan peer to peer di internet. Layanan
ini semula dipelopori oleh Napster (situsnya dulu di www.napster.com).
Memanfaatkan layanan ini, pengguna internet dapat melakukan pertukaran
file MP3 dengan user lain yang terhubung dalam jaringan internet.
Penyedia layanan menyediakan sebuah software yang berfungsi sebagai
semacam 'mesin pencari' untuk menemukan file MP3 yang sesuai dengan
kriteria yang dibutuhkan. File-file tersebut merupakan file yang sengaja
disediakan oleh pengguna lain dari layanan yang sama. Jadi, layanan ini
sama sekali tidak menyediakan file MP3, melainkan sebatas memfasilitasi
pertukaran file antar penggunanya saja.
Pada akhirnya, tuntutan
dari para pelaku industri rekaman berhasil memaksa Napster gulung tikar.
Tapi ibarat kata pepatah 'gugur satu tumbuh seribu', maka layanan
sejenis justeru bermunculan 'bak jamur di musim hujan'. Merasa kesulitan
untuk melawan layanan semacam ini, industri rekaman mulai berganti
jurus. Alih-alih memperkarakan penyedia layanan, mereka malah mulai
membidik usernya. Beberapa user yang tertangkap tangan menggunakan
layanan ini, kini harus berurusan dengan UU Hak Cipta Amerika Serikat
yang terkenal keras itu dengan ancaman denda yang jumlahnya tidak
main-main. Persoalan kemudian bergulir ke debat soal hukum yang tentunya
tidak terkait lagi dengan masalah teknis
Dari CD Audio ke MP3
Punya
koleksi setumpuk CD musik ? Daripada susah mengaturnya dan memainkannya
di CD player biasa, bagaimana kalau lagu-lagu yang terekam pada CD
musik ini diubah menjadi file MP3 dan dinikmati di komputer saja ?
Rip
+ Encode
Bila komputer Anda mempunyai drive untuk CD-ROM,
mendukung multimedia, dan menjalankan Linux, maka konversi dari CD Audio
menjadi file-file berformat MP3 adalah perkara mudah. Sejumlah utility
yang tersedia untuk itu akan dibahas tuntas di sini. Sebagaimana aneka
program untuk Linux, semuanya gratis dan cuma-cuma sehingga Anda tidak
perlu merogoh saku. Tambahan lagi, utility-utility ini sudah ikut
dipaketkan bersama CD-ROM InfoLinux sehingga tidak perlu repot
mendownloadnya sekaligus menghemat waktu dan biaya.
Adapun
perangkat lunak penunjang yang dibutuhkan ada dua, yaitu masing-masing
untuk menyalin track-track audio ke file WAV dan untuk mengkonversi file
WAV ini menjadi MP3. Secara istilah, langkah pertama sering disebut
sebagai ripping dan langkah kedua adalah encoding. Program untuk
melakukan ripping dan encoding berturut-turut dikenal sebagai ripper dan
encoder.
Bagaimana sebuah ripper bekerja ? Pada dasarnya relatif
sederhana, yaitu membaca data mentah audio dari track yang diinginkan
dari CD dan kemudian mengkomposisikannya dalam format audio yang dapat
sudah dimainkan oleh player biasa (seperti XMMS atau FreeAmp). Lazimnya
format yang dihasilkan adalah WAV, sebuah standar de facto untuk file
audio. Dengan demikian - nanti juga bisa Anda buktikan sendiri -
keberadaan sound card tidak dibutuhkan manakala ripper dijalankan.
Walhasil file WAV yang dihasilkan dari proses ripping akan sama persis
dengan track audio di dalam CD, hanya formatnya berbeda. Hal ini juga
bermakna bahwa tidak ada rugi-rugi (loss) yang terjadi sehingga kualitas
file WAV ini sebagus dan sebersih track aslinya. Di sisi lain, karena
format WAV adalah format yang tidak terkompresi, ukurannya akan luar
biasa besar. Satu menit musik akan bersesuaian kira-kira dengan 12 MB
data audio di file WAV. Dus, untuk rata-rata lagu, dibutuhkan tempat
hingga sekitar 50 MB.
Mengingat betapa borosnya spasi hard disk
jika lagu-lagu harus disimpan dalam format WAV, tentu saja akan lebih
baik menggunakan format MP3. Dibandingkan WAV, MP3 hanya akan memakan
tempat kira-kira 1 MB untuk musik selamat satu menit. Sekedar informasi,
file MP3 menggunakan standar MPEG Layer 3 yang melakukan kompresi
sinyal dengan membuang komponen audio yang nyaris tidak didengar oleh
telinga manusia. Membahas secara rinci bagaimana teknik kompresinya
sendiri ada di luar cakupan tulisan ini.
Sebuah encoder bertugas
untuk mencomot informasi audio dari file input (misalnya file WAV hasil
dari ripping) menjadi file musik berformat MP3. Ada beberapa parameter
yang bisa diatur untuk proses encoding diantaranya kanal dan bitrate.
Kanal menentukan apakah hasil MP3-nya harus mono, stereo, maupun
joint-stereo. Mungkin pembaca ada yang masih asing dengan pengertian
joint-stereo. Pada dasarnya joint-stereo adalah satu trik untuk
mengkodekan sinyal frekuensi rendah secara mono sementara sisanya tetap
stereo.
Meniru prinsip kerja subwoofer, hal ini menyebabkan
reduksi ukuran sinyal yang terkompresi sembari tetap mempertahankan
kualitas. Bitrate menentukan jumlah bit yang akan digunakan untuk
mengkodekan sinyal audio per detiknya, sering diekspresikan dalam satuan
kilobits per second (kbps). Encoding pada bitrate 128 kbps berarti
kira-kira 128 ribu bit digunakan per detiknya, atau kira-kira 16 KB.
Bitrate yang semakin tinggi menghasilkan kualitas yang semakin mendekati
aslinya. Sebagai pegangan, pada bitrate 192 kbps, sebuah sinyal audio
hampir-hampir tidak bisa dibedakan dengan kualitas CD.
0 komentar:
Post a Comment